DOWNLOAD CLASH OF CLANS
Website ini saya ciptakan untuk mempromosikan produk lokal yang saya jual dari berbagai sumber yang terpercaya.
Mencabut Kemaluan Menjelang Shubuh Keluar Mani di Luar, Batalkah Puasanya?

Sun 28 June 2015 01:02 | puasa | 5.553 views
Pertanyaan :
Assalamualaikum
Ustadz, melanjutkan pembahasan masalah jima di bulan Ramadhan sebelumnya. Ini ada kasus pengantin baru melakukan jima' menjelang waktu shubuh. Karena takut terlanjur masuk shubuh, suami mencabut kemaluannya. Lalu adzan shubuh terdengar berkumandang.
Kalau setelah dicabut itu suami keluar mani dan sudah masuk waktu shubuh, apakah sudah dianggap puasanya batal dan terkena denda kaffarah jima di siang hari bulan Ramadhan?
Mohon penjelasannya, ustadz.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah ini memang agak terlalu detail pembahasannya. Yang disepakati para ulama adalah haramnya melakukan jima' di saat siang hari bulan Ramadhan. Adapun jima di malam hari hukumnya diperbolehkan sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu (QS. Al-Baqarah : 187)
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana hukumnya bila jima' dilakukan di saat injury time, yaitu di saat-saat akhir malam menjelang masuknya waktu shubuh.
Definisi Jima'
Unntuk menjawab masalah ini, para ulama membuat definisi yang lebih detail tentang jima', yaitu :
إيلاج ذكر في فرج
Memasukkan zakar ke dalam faraj
Maka selama tidak terjadi proses memasukkan zakar (kemaluan laki-laki) ke dalam faraj (kemaluan wanita), belumlah disebut dengan jima.
Dalam kasus yang Anda ceritakan, suami sudah mencabut kemaluannya sebelum masuknya waktu shubuh. Maka jima' sudah selesai. Sehingga kalau pun setelah itu langsung masuk waktu shubuh, puasanya tetap sah dan tidak rusak.
Al-Kasani (w. 587 H) salah seorang ulama besar dalam mazhab Al-Hanafiyah mengutip pernyataan dari Muhammad di dalam kitab beliau Badai' Ash-Shanai' menyebutkan sebagai berikut :
وعن محمد فيمن أولج ذكره في امرأته قبل الصبح ثم خشي الصبح فانتزع منها فأمنى بعد الصبح أنه لا يفسد صومه وهو بمنزلة الاحتلام
Dari Muhammad tentang hukum orang yang memasukkan zakarnya ke kemaluan istrinya sebelum shubuh, kemudian takut datangnya shubuh maka dicabutnya. Lalu dia mengalami ejakulasi (keluar mani) setelah dicabut pada saat masuknya waktu shubuh, maka hal itu tidak merusak puasanya. Alasannya kasus itu seperti orang yang mimpi keluar mani. [1]
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Kasani, Badai' Ash-Shanai' jilid 2 hal. 94
Lagi Sahur Dengar Adzan Makan Diteruskan?

Wed 25 May 2016 09:50 | puasa | 37.469 views
Pertanyaan :
Ada hadist yang menyebutkan bahwa
"Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Shubuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum]".
Pertanyaanya :
1. Bila makanan yang di piring atau di tangan belum habis saat azan selesai?
2. Apakah harus dihabiskan atau tidak dilanjutkan?
Biasanya tipikal orang kita, habis makan masih harus minum juga tadz. saya bingung apa yng harus saya perbuat kalau pas sahur kesiangan, pernah ngalamin hal kayak gini, dilema mau minum atau enggak.
Bagaimana pendapat ustadz?
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebagian kalangan ada yang secara rancu memahami hadits tentang bolehnya tetap makan dan minum walau pun sudah terdengar adzan shubuh. Di antaranya adalah hadits berikut ini :
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.” (HR. Abu Daud)
Dan juga yang lain yang senada esensinya :
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahuanhu. Dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apakah aku boleh meminumnya?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya (HR. Ibnu Jarir)
Padahal kita tahu bahwa batas mulai puasa adalah terbitnya fajar, dan ketentuan itu datang langsung lewat firman Allah SWT di dalam Al-Quran :
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar...” (QS Al-Baqarah: 187)
Bagaimana mungkin ketika muadzin mengumandangkan adzan, kita masih saja meneruskan makan dan minum, padahal seorang muadzdzin tidak akan mengumandangkan adzan kecuali setelah mengetahui pasti fajar telah terbit?
Kalau saja kita lebih luas dalam memandang dalil-dalil, maka hadits-hadits di atas pada hakikatnya tidak akan bertentangan dengan ayat Al-Quran. Dan kemungkinannya adalah sebagai berikut :
1. Tidak Ada Kaitannya Dengan Puasa
Kedua hadits di atas sama sekali tidak menyebut tentang puasa. Yang ada hanya ketika wadah makanan atau minuman ada di tangan, lalu terdengar panggilan shalat. Itu saja tidak lebih. Lalu Umar bertanya, apakah masih boleh minum, lalu Rasulullah SAW membolehkan.
Mungkin saja konteksnya bukan sedang makan sahur, tetapi sedang menyantap hidangan di luar puasa. Dan ketika terdengar suara adzan, apakah harus segera shalat dan meninggalkan tempat makan, ataukah boleh diteruskan makannya. Dan jawabannya adalah silahkan diteruskan makan dan minumnya sampai tuntas, barulah kemudian mendatangi shalat berjamaah.
Kalau kita perhatikan baik-baik dan secara lebih cermat, matan kedua hadits di atas sama sekali tidak menyebut tentang adzan untuk shalat tertentu. Tidak ada penjelasan bahwa adzan itu adalah adzan untuk shalat shubuh.
Jadi bisa saja adzan itu untuk shalat selain shubuh, seperti shalat Maghrib, Isya’ atau shalat-shalat yang lain.
2. Adzan Pertama
Dan jawaban yang paling mendekati adalah bahwa adzan itu bukan adzan shubuh, melainkan adzan yang dikumandangkan dalam rangka untuk membangunkan orang untuk shalat malam atau untuk makan sahur.
Perlu diketahui bahwa adzan pada zaman Rasulullah SAW dikumandangkan dua kali. Adzan yang pertama dikumandangkan oleh Bilal, waktunya beberapa saat sebelum terbit fajar. Adzan yang kedua adalah adzan yang dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum, waktunya adalah ketika fajar telah terbit, yang juga merupakan adzan untuk dimulainya puasa dan masuknya waktu untuk shalat shubuh.
Hal itu semakin jelas kalau kita telaah hadits berikut ini :
أَنَّ بِلاَلاً كاَنَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقاَلَ رَسُولُ اللهِ : كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتىَّ يُؤَذِّنَ بْنُ أُمِّ مَكْتُوْم فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتىَّ يَطْلَعَ الفَجْرُ
Bilal mengumandangkan adzan pada suatu malam. Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”.(HR. Bukhari).
Dan di dalam Shahih Muslim juga ada hadits yang secara tegas membedakan antara adzan pertama dan adzan kedua.
لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سَحُورِكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ وَلاَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيل وَلَكِنِ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الأُْفُقِ
Adzan yang dikumandangkan oleh Bilal tidak mencegah kamu dari makan sahur, dan juga fajar yang memanjang. Namun yang mencegahmu makan sahur adalah fajar yang merbak di ufuk. (HR. Muslim)
3. Penjelasan Para Ulama
Untuk lebih yakinnya bahwa tidak benar kalau sudah berkumandang adzan shubuh, masih dibolehkan makan dan minum, mari kita simak pendapat para ulama tentang hal ini.
Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa jika fajar telah terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Hal ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Syaikh Shalih Al-Munajjid -dengan beralasan bahwa kebanyakan muadzin melantunkan adzan sebelum waktunya-, mengatakan bahwa bila adzan itu dikumandangkan sebelum waktu fajar benar-benar terbit, tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin.
Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun tetap saja beliau lebih berhati-hati untuk berhenti makan ketika itu.
4. Kenisbian Adzan
Berpatokan dengan mendengarkan adzan shubuh di masjid, tidak terjamin keakuratannya. Bisa jadi jam di masjid tidak cocok, mungkin lambat atau malah lebih cepat. Selain itu bisa jadi sang muadzdzin salah lihat jadwal shalat.
Yang benar adalah berpatokan dengan jadwal shalat, sebab jadwal itu hasil perhitungan para ahli ilmu falak dan hisab. Keakuratannya sangat tinggi. Masalahnya tinggal jam di rumah kita. Apakah tetap atau lebih lambat atau lebih cepat.
Tidak ada salahnya bila anda mengacu ke TV, sebab biasanya jam di TV lebih ditangani secara serius oleh para profesional.
Sedangkan berpatokan pada ruku' pertama shalat shubuh, juga tidak bisa diterima. Sebab waktunya sangat nisbi. Bagaimana bila jamaah shalat shubuhnya agak telat, hingga shalat sudah di akhir waktu?
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA